Seks dan Boker Ternyata Mirip

https://pxhere.com/id/photo/591152

PENGHUJUNG tahun 2018 di Indonesia ditutup dengan kabar memilukan. Ya, kasus pemerkosaan kembali mencuat ke permukaan persis diakhir tahun. Korbannya (RA) adalah pegawai kontrak di lingkungan BPJS Ketenagakerjaan, sedangkan yang diduga pelaku adalah atasannya (SAB) yakni anggota Dewan Pengawas BPJS TK.
Korban mengaku mengalami tindak pelecehan seksual selama hampir 2 tahun yang diduga dilakukan atasannya. Bayangkan, dua tahun berada dalam relasi kerja yang abusive dan menyiksa jelas bukan perkara mudah.
Merespon kasus ini netizen seperti biasa punya polarnya masing-masing. Kubu A sebut saja begitu menyatakan simpati, dukungan dan menyampaikan pendapat dengan nada positif. Di sisi lain, kubu B mempertanyakan bagaimana bisa si korban diam saja dilecehkan selama dua tahun.
Orang-orang yang terakhir ini mungkin tidak pernah merasakan cari kerja susah. Dari lahir mungkin sudah ditakdirkan akan mewarisi perusahaan multi nasional yang membuatnya tidak perlu lagi susah-susah nyari kerja, lebih-lebih mempertahankan pekerjaan.
Bayangkan posisi korban ini tenaga kontrak. Bahkan bisa jadi tidak punya hak terhadap BPJS TK, tempat dia sendiri bekerja. Sedangkan yang melecehkan bosnya, yang punya kuasa memecat bahkan menghambat karirnya di masa depan.
Ditambah lagi track record SAB yang beberapa kali menduduki posisi penting dalam pemerintahan, saya rasa siapapun pasti mikir panjang ketika berurusan dengan situasi seperti ini. Ini yang dinamakan power abuse. Penyalahgunaan kekuasaan untuk melakukan kehendak sepihak, dalam hal ini pelecehan seksual.
Relasi kerja yang demikian memosisikan korban sebagai pihak yang tidak punya kuasa atas dirinya. Posisinya sebagai pegawai kontrak.
Akhirnya memosisikan korban sebagai pekerja rentan yang tidak punya jaminan stabilitas kerja yang jelas. Akibatnya korban rentan menjadi korban penyalahgunaan kekuasaan oleh atasannya.
Komnas perempuan dalam Catatan Tahunan tertanggal 7 Maret 2018, mencatat bahwa kasus pelecehan seksual di ranah personal yang dilaporkan di Indonesia sepanjang setahun sebelumnya berjumlah 2979 kasus. Kasus yang melibatkan relasi kerja atasan bawahan, majikan pembantu atau apapun sebutannya sebanyak 24 kasus yang dilaporkan.
Sadari keterangannya adalah kasus yang dilaporkan. Banyak perkiraan yang mengatakan bahwa ini cuma ujung dari fenomena gunung es. Di luar sana masih banyak pelecehan seksual yang melibatkan relasi kerja dan power abusive yang tertutup rapat karena lazimnya persepsi bahwa menjadi korban pelecehan seksual adalah aib dan sepenuhnya salah korban.
Sehingga banyak kasus yang tidak terangkat ke permukaan.
Power abuse dalam relasi kerja adalah hal yang tidak bertanggung jawab. Lebih jauh power abuse dalam relasi kerja dalam bentuk pelecehan seksual adalah hal kurang ajar yang tidak bisa ditoleransi. Hal ini bersumber pada dua hal, seks yang tidak pernah dibahas sebagai hal natural dan stigma mengerikan terhadap prostitusi. Mari kita bahas.
Di Indonesia seks adalah hal yang tidak pernah dibahas secara informatif dan sistematis, dianggap tabu, kotor dan menjijikan. Padahal siapa sih yang tidak pernah merasakan dorongan seksual? Komedian Pandji Pragiwaksono pernah mengatakan bahwa seks itu ibarat buang air besar.
Natural. Semua orang pasti punya dorongan seksual. Sebesar apa dorongannya itu urusan lain. Tapi adalah fakta bahwa semua orang pasti ,setidaknya sekali, pernah merasakan dorongan seksual dalam hidup mereka.
Menggunakan logika tersebut, bagaimana mungkin orang tua kita atau kita terhadap anak-anak kita tidak pernah mengenalkan tentang pendidikan seks? Sedangkan untuk buang air besar saja kita diajari, bahkan di sekolah.
Iya kan? Kita dulu diajari cara-cara pergi ke toilet sampai selesai dan dikenalkan juga soal organnya. Yang fungsinya untuk pup itu namanya anus, yang fungsinya pipis itu namanya titit. Tapi dengan seks kenapa tidak demikian? Padahal organnya sama dengan ketika kita kencing. Kenapa fungsi seksualnya tidak dijelaskan?
Saya menduga sikap tertutup kita sebagai masyarakat terhadap seks yang akhirnya membuat seks jadi dianggap sebagai pencapaian. Berhubungan seksual dianggap sebagai keberhasilan dalam menegakkan mental menguasai.
Orang berlomba-lomba menunjukan power mereka melalui keberhasilan hubungan seksual. Saya yakin orang yang menjadi pelaku pemerkosaan adalah orang-orang yang tumbuh dilingkungan yang tidak memberi kebebasan berekspresi soal seksualitas. Sehingga yang dominan adalah penasaran.
Untuk mendobrak kultur ini, perlu kiranya pendidikan seksual dimasukan kedalam kurikulum sekolah. Bicarakan seks secara rasional, terstruktur, ilmiah dan terarah.
Kenapa sekolah, karena ketika suatu hal diajarkan disekolah, maka hal tersebut akan menjadi kewajaran. Contoh, di buku-buku sejarah SD, tahun 1965 identik dengan pemberontakan PKI. Sebesar apapun narasi tandingan yang beredar di luar, selama dia tidak diajarkan di sekolah akan suit menggantikan narasi arus utama.
Bayangkan jika generasi muda yang belajar di bangku sekolah paham mengenai seksualitasnya. Dampaknya akan masif. Mungkin kita akan punya banyak personil polisi yang tidak bertanya menikmati atau tidak ketika korban diperkosa.
Atau kepala daerah yang tidak terkesan menyalahkan ibu untuk tingginya kasus perceraian. Atau anggota legislatif yang paham benar bahwa RUU Anti Kekerasan Seksual bukan sebatas produk politik namun di atasnya ada kemanusian yang dipertaruhkan. Intinya kita kemungkinan besar bisa memotong satu generasi yang gagap terhadap seksualitas dan permaslahannya.
Jalur pendidikan memang efektif, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa prosesnya panjang. Sembari melakukan penyesuaian pendidikan penting juga untuk menyediakan solusi jangka pendek yaitu prostitusi. Sabar, sabar, coba dibaca dulu sampai selesai.
Kita punya pemikiran yang unik soal prostitusi. Prostitusi dikesankan sebagai tempat kotor penuh dosa yang terkutuk. Mungkin demikian. Namun disadari atau tidak, data yang ada menyatakan negara yang meregulasi prostitusi mampu menurukan angka pemerkosaan dengan sangat drastis. Belanda, Finlandia, Denmark dan kawan-kawan contohnya.
Kenapa? Simpel, menggunakan logika BAB tadi, seks itu natural seperti BAB. Ada yang bisa nahan lama ada yang begitu kerasa mau keluar harus segera nyari tempat untuk ngeluarin. Kalau enggak ada tempat untuk ngeluarin ya buang disembarang tempat. Kalau konteksnya seks terjadi pemerkosaan.
Makanya penting untuk pemerintah menjadi regulator prostitusi. Bukan melegalkan, bahasa yang tepat adalah meregulasi. Kalau melegalkan semua bisa akses, kalau meregulasi ada aturan ketat yang dijalankan dengan konsekuen. Misal yang bisa akses yang umurnya 25+ punya BPJS atau asuransi kesehatan. Bawa surat dokter misalnya. Bukankah esensi dari pemerintah adalah sebagai regulator?
Harapannya nanti dengan masuknya pendidikan seksual sebagai bagian dari pelajaran di sekolah kita mulai menata kehidupan sosial menjadi lebih sadar gender. Sehingga penghormatan antar gender menjadi yang utama diperjuangkan dan kasus semacam RA dan SAB tidak terulang lagi.

*Dipublikasikan pertama kali di locita.co oleh Dias Pabyantara

0 comments