KASUS prostitusi online artis VA dan AF yang terungkap di Surabaya beberapa hari lalu memunculkan kembali diskusi mengenai prostitusi di tengah masyarakat Indonesia. Komentar yang muncul pun beragam.
Mulai kuliah soal moralitas (yang ini pasti ada hehe), komen soal tarifnya yang puluhan juta sampai desakan untuk mengungkap siapa pengusaha yang jadi konsumennya.
Yang terakhir mungkin sobat misqueen yang jarang, atau enggak pernah lihat uang puluhan juta habis dalam semalam, kayak saya hehe. Sebagai orang yang tinggal di Surabaya kabar ini tentu biasa saja mengagetkan bagi saya. Selain membuka warung makan, ternyata artis-artis ibukota sudah mulai memperlebar bisnis lainnya ke kota Surabaya. Luar Biasa!
Surabaya dan prostitusi bukannya tanpa sejarah. Di Surabaya pernah ada Gang Dolly, yang konon kabarnya pernah menempati klasemen teratas tempat prostitusi paling besar se-Asia Tenggara, mengalahkan Jakarta dan bahkan Thailand. Tapi itu dulu. Sekarang Gang Dolly tinggal kenangan.
Pemkot Surabaya secara resmi menutup aktivitas prostitusi di Gang Dolly per 18 Juni 2014. Dampak yang muncul banyak, mulai dari persoalan ekonomi disekitar wilayah eks-dolly hingga munculnya prostitusi terselubung yang digerakkan juga oleh eks warga Dolly.
Dari persoalan-persoalan yang muncul, yang paling mengkhawatirkan adalah prostitusi terselubung, persis seperti yang VA dan AF lakukan. Terselubung artinya tidak hanya tidak terdeteksi, namun juga tidak mendapatkan pendampingan semestinya.
Pendampingan bisa dalam bentuk pelayanan kesehatan bagi penyedia jasa ataupun cek kesehatan rutin. Bayangkan jika prostitusi tidak diawasi dengan ketat , otoritas tidak punya kontrol untuk melacak persebaran penyakit, potensi tindak kriminal dan jumlah penyedia jasa secara umum.
Lho kan tinggal ditutup toh? Dolly sekarang sudah ditutup, Surabaya bebas dari prostitusi. Ooh tidak semudah itu Fergusso! Jalan-jalan deh ke eks-Dolly hehe.
Di sebelah-sebelah Dolly masih banyak yang nawarin. Pasca dolly ditutup, Pekerja Seks Komersial di Nganjuk nambah dari 100 menjadi 1200 PSK persis pasca Dolly ditutup.
Artinya apa, artinya melarang prostitusi hampir tidak mungkin dilakukan. Kenapa? Menurut Lund dan Korn (2002) dalam Jurnal A Theory of Prostitution, prostitusi tidak akan pernah bisa dihilangkan dari struktur ekonomi karena prostitusi adalah profesi yang tidak membutuhkan skill khusus namun bayarannya tinggi.
Dimana lagi mencari profesi yang tidak perlu skill khusus dan bayarannya tinggi? 80 juta itu bukan duit kecil untuk mayoritas rakyat Indonesia yang kadang-kadang buat keberlangsungan logistik sebulan saja harus putar otak.
Sebanyak 80 juta rupiah itu gaji dosen Golongan III B plus tunjangan sertifikasi selama setahun. Waaasem tenan!
Mengikuti logika tersebut, hampir tidak mungkin melarang praktik-praktik prostitusi. Selama ada orang mau membayar untuk seks, selama ada demand prostitusi akan terus ada.
Dan faktanya, kebutuhan seksual itu natural sodara-sodara. Enggak ada orang yang tidak pernah merasakan dorongan seksual. Orang yang bisa menahan dan mengarahkan mungkin banyak, tapi pasti ada setidaknya satu momen di hidup kalian tiba-tiba pengen aja gitu hehe.
Kalau kondisinya begitu apa yang bisa dilakukan? Jangan cuma kritik aja tanpa solusi, begitu kata teman saya yang timses.
Begini sodara-sodaraku yang berbahagia, kita kan punya otoritas politik namanya pemerintah yang berdaulat. Harusnya ini tugas pemerintah untuk melakukan regulasi terhadap prostitusi.
Regulasi berbeda dengan legalisasi. Kalau konteksnya regulasi artinya pemerintah menyediakan seperangkat aturan yang ketat, bahkan super ketat, siapa yang bisa mengakses.
Bagaimana cara mengaksesnya, waktunya dan sebagainya. Kalau legalisasi artinya semua bisa akses, misal air mineral.
Legal di Indonesia, dan semua bisa akses. Bukankah itu tugas utama otoritas politik yang kita sebut pemerintah? Bahasa Inggrisnya government, fungsinya to govern, menjalankan tata kelola. Kenapa di Bahasa Indonesia jadi pemerintah? Tukang perintah? Hehe.
Tapi ini kan bertentangan dengan standar moral. Prostitusi itu tidak bermoral pokoknya, harus ditutup titik. Ya enggak apa-apa, tapi kan enggak semua orang standar moralnya sama dengan sampeyan.
Ada yang memandang hal tidak hanya dari kacamata moral tapi juga dampak sosialnya juga. Justru itu memperlihatkan pentingnya negara sebagai government, bukan pemerintah, untuk menampung aspirasi dan kepentingan banyak pihak. Pelaku prostitusi juga salah satunya.
Regulasinya bisa macam-macam. Tapi menurut saya, sekali lagi menurut saya ya, sampeyan beda ya ndak masalah. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah bikin surveillance system.
Kalau dulu praktik prostitusi dikumpulkan di satu tempat, Dolly, Kalijodo dll biar gampang ngawasinya, sekarang karena sudah era digital dan serba online, mungkin bisa dibikin data base-nya dulu.
Petaka dulu siapa saja yang “berprofesi” sebagai PSK, berapa jumlahnya, namanya siapa. Di data untuk data base, bukan didata untuk diangkut.
Setelah itu baru bisa dilihat gambar besarnya. Sebagai fenomena sosial di daerah A praktik prostitusi banyak dari kalangan artis misalnya.
Di daerah B justru banyak ibu-ibu rumah tangga. Di daerah C justru didominasi oleh PSK laki-laki dan seterusnya. Baru dari situ bisa dibuat aturan-aturan khusus mengenai prostitusi.
Perdaerah bisa jadi beda regulasinya, karena konteks sosial, politik dan ekonomi yang berbeda. Di satu titik bukan tidak mungkin ada upah minimal untuk PSK, sehingga standarnya sama.
Ada regulasi mengenai pajak yang diatur negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk pembangunan rakyat. Kalau mau mengikuti saran di atas, kalau mau lho ya, Indonesia enggak sendirian kok.
Belanda, Swedia, Jerman sudah duluan melakukannya. Tapi kan itu semua negara barat yang liberal. Kita bukan bangsa yang ikut nilai barat! Lho bukannya kita cuma anti sama komunis ya? Sekarang liberal juga? Weleh-Weleh.
*Dipublikasikan pertama kai di locita.co oleh Dias Pabyantara
0 comments