Awal tahun 2020, Indonesia kembali menjadi sorotan dunia. Kali ini bukan karena prestasinya, melainkan warga negaranya yang menjadi tersangka pelaku pelecehan seksual terhadap kurang lebih 190 korban di Inggris. Reynhard Sinaga (RS) menjadi pemberitaan global dalam dua hari ini karena sepak terjangnya yang disebut sebagai “most prolific rapist in British legal history” oleh penegak hukum Inggris.
Di balik pembawaannya yang ramah, murah senyum dan lembut, tidak ada yang menyangka dia melakukan kejahatan mengerikan tersebut selama 12 tahun. Tapi nyatanya penampilan bisa menipu. Reynhard Sinaga dijatuhi hukuman penjara seumur hidup oleh pengadilan Inggris karena melakukan pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap ratusan laki-laki di Inggris.
Iya betul. Korbannya laki-laki. Anda salah baca. Laki-laki juga bisa menjadi korban pemerkosaan dan pelecehan seksual, bukan hanya perempuan. Dampaknya sama-sama mengerikan. Seorang korban dari RS mengatakan berharap mati daripada harus menanggung beban sebagai korban pemerkosaan.
Pemerkosaan pada dasarnya adalah bentuk kekerasan yang menggunakan alat genital sebagai fokus kekerasan. Karenanya dampak dari pemerkosaan bisa sangat traumatik, mencerabut individu dari martabatnya sebagai individu yang merdeka. Hal ini terjadi karena pemerkosaan adalah bentuk penaklukan pribadi yang paling personal karena melibatkan aktivitas privat manusia, yaitu seks.
Dalam kasus Reynhard Sinaga, korbannya mayoritas adalah pria kulit putih. Dalam konstruksi gender, pria kulit putih seolah menempati kasta tertinggi. Resiko pria kulit putih untuk mengalami kekerasan berbasis gender paling kecil dibanding identitas yang lain. Dampaknya sebagai korban berlipat ganda. Identitasnya sebagai laki-laki yang sering dikostruksi harus mampu melindungi diri runtuh. Ditambah lagi identitasnya sebagai laki-laki kulit putih yang menjadi korban kejahatan seksual seorang Asia, maka dampaknya menjadi berlipat.
Pertimbangan rasial ini penting digunakan ketika melihat kekerasan berbasis gender. Karena konstruksi gender tidak muncul dari ruang hampa, melainkan terbentuk dari berbagai aspek sosial seperti ras, kelas sosial, agama dan lain sebagainya. Korban yang berasal dari ras kulit putih dan pelaku yang berasal dari asia akan membuat dampak akibat kekerasan seksual menjadi berlipat.
Di sisi lain, cara pihak berwajib Inggris menangani korban kekerasan seksual menarik untuk diamati. Pihak kepolisian Inggris menggandeng lembaga pendampingan korban untuk melakukan pendampingan dan rehabilitasi. Garis bawahnya ada pada “menggandeng”. Artinya secara kelembagaan kepolisian Inggris memandang penting pendampingan dan support korban pemerkosaan dalam proses penanganan kasus. Ada sensitivitas dari penegak hukum terhadap korban pemerkosaan di sana.
Ini jadi catatan penting. Dalam penanangan korban pemerkosaan, korban harus diperlakukan sebagai korban. Sebagai korban, kondisi psikologis yang sedang terguncang harus menjadi perhatian utama. Kesadaran ini yang harus dimiliki penegak hukum yang menangani korban pemerkosaan, sehingga pertanyaan-pertanyaan ofensif seperti “kamu menikmati pada saat penetrasi”, atau “apakah kamu berpakaian seksi” tidak ditanyakan pada saat penyelidikan.
Kepercayaan terhadap penegak hukum yang sensitif gender akan mempermudah proses penyelidikan. Korban yang merasa aman dan pecaya kepada pihak berwajib lebih mudah melapor tentang kekerasan seksual yang dialaminya.
Dalam kasus RS, kepercayaan terhadap penanganan sensitif gender dari kepolisian jadi salah satu kunci. Ratusan korban RS tidak mungkin mau melapor bahkan bersaksi di pengadilan kalau tidak ada jaminan rasa aman dari proses peradilan.
Yang tidak kalah penting adalah media Inggris cukup selektif dalam mengangkat pemberitaan mengenai kasus pemerkosaan. Kasus RS terungkap pertama kali tahun 2017. Kemudian serangkaian proses penyelidikan dan peradilan sampai pada putusan penjara seumur hidup memakan waktu sekitar 2 tahun. Pada kurun waktu dua tahun ini tidak ada pemberitaan yang “bocor” kepada publik dari media manapun terkait indikasi dan sebagainya. Baru pada tahun 2019, ketika putusan diputuskan media mulai memberitakan kronologis peristiwa runut dan informasi lengkap terkait proses peradilan.
Sensitivitas media terhadap isu kekerasan seksual juga penting dalam mendukung pengungkapan kasus. Pemberitaan media yang berpihak pada korban dan proses hukum adalah salah satu pendukung kenyamanan korban dalam mengungkapkan peristiwa kejahatan yang dialaminya.
Pemberitaan yang membabi-buta terhadap korban berpotensi menambah berat beban korban. Konstruksi sosial terhadap korban pemerkosaan seringkali abai terhadap posisi korban sebagai “korban”. Stigma-stigma menghakimi muncul sebagai wujud dari sensasi. Seolah korban pemerkosaan telah mengidap aib yang tidak dapat ditoleransi. Padahal faktanya, syarat untuk kegiatan seksual disebut pemerkosaan adalah tidak adanya konsen atau adanya pemaksaan.
Pemberitaan media yang sensitif gender setidaknya mampu menciptakan arus informasi yang berpihak kepada korban dan meminimalisasi informasi yang sifatnya viktimisasi korban.
Terakhir, kasus RS adalah momentum yang baik bagi kita semua untuk mulai memikirkan kembali kejahatan pemerkosaan yang ada disekitar kita. Tidak ada yang imun dari ancaman pemerkosaan. Heteroseksual maupun tidak, laki-laki maupun perempuan, orang dewasa maupun anak-anak berpeluang menjadi korban. Maka penting untuk memulai kesadaran publik bahwa pemerkosaan bukan hanya urusan perempuan, laki – laki juga wajib menaruh perhatian. Karena pemerkosaan terhadap laki-laki seringkali tidak terekspose karena ruang aman yang minim bagi penyintas.
*Dipublikasikan pertama kali di locita.co oleh Dias Pabyantara
0 comments