Pelarangan Kantong Plastik Bagus Sih, Tapi…


Akhir pekan ini saya pulang ke rumah Ibu di salah satu pojok kota santri. Saya sebut pulang karena sebenar-benarnya rumah, adalah pelukan ibu hehehe. Siang itu obrolan kami agak berbeda. Biasanya berkutat soal perantauan saya di kota besar dan saling tukar kabar mengenai sanak saudara. Kali ini bu saya mengangkat topik yang lain, yakni pelarangan plastik kantong plastik sekali pakai oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta.
“Dengar dari mana?” tanya saya. “Dari berita di tv,” jawab Ibu. Kemudian obrolan kami berkutat di sekitar situ. Biasanya obrolan kami tidak “seberat” ini.
Topik ini memang dekat dengan keluarga saya. Belasan tahun Ibu saya berdagang di toko kelontong depan rumah. Bertahun-tahun juga saya membantu Ibu tiap hari berbelanja ke pasar. Kantong plastik sekali pakai adalah barang yang tiap hari saya pegang. Terbayang susahnya berbelanja ke pasar tradisional dengan intensitas harian tanpa dibantu kantong plastik sekali pakai itu.
Kami memang tidak tinggal di Jakarta, namun biasanya kebijakan populis semacam ini biasanya menular ke daerah lain. Masih ingat di tahun 2013 ada kebijakan cabut pentil ban bagi pelanggar parkir? Populis, dan sekarang banyak dipakai di daerah-daerah. Ibu saya khawatir kalau kebijakan pelarangan kantong plastik ini akan sampai juga ke kota kami. Kemudian saya tanya, kenapa khawatir bukannya itu bagus untuk lingkungan?
Ibu saya kemudian menceritakan obrolannya dengan tetangga yang punya usaha pengumpul rongsokan dan teman pengajiannya yang punya usaha kerajinan dari plastik bekas. Kedua kawannya ini khawatir kalau kantong plastik dilarang, dari mana mereka akan mendapatkan bahan baku industri rumahannya?
Sedangkan, keduanya punya pegawai yang harus digaji. Bahan baku utama industri mereka adalah kantong plastik bekas, karena biasanya bisa dibeli dengan murah dari pemulung sampah. Murah karena bekas, kalau kantong plastik baru akan meningkatkan ongkos produksi. Walaupun 100 rupiah, dalam skala industri rumahan akan berdampak juga.
Selepas obrolan dengan Ibu, saya jadi memikirkan ulang pelarangan kantong plastik tadi. Niat baik untuk menyelamatkan lingkungan ini juga mempunyai dampak yang mungkin tidak banyak dibayangkan orang. Dampaknya bisa sampai ke rantai ekonomi paling bawah.
Mengubah kebiasaan menggunakan plastik ramah lingkungan atau substitusi plastik yang lain seperti kantong kertas atau kain, hanya akan efektif pada kelas menengah saja. Masyarakat kelas bawah masih banyak yang menggantungkan hidupnya dari sampah plastik bekas. Dua tetangga saya tadi adalah contohnya. Dan saya yakin mereka tidak sendirian. Banyak yang akan bernasib sama. Menjadi masyarakat kelas bawah yang terdampak kebijakan populis tanpa solusi yang pasti.
Ini baru satu isu, yakni kantong plastik sebagai bahan baku industri. Dari sisi industri kantong pastik, pelarangan penggunaan kantong plastik akan berdampak sistemik. Dari data Kemenperin tercatat 171 industri yang komiditinya adalah kantong plastik. Dan 1072 industri di Indonesia yang komoditinya memuat kata plastik, entah botol plastik plastik pembungkus dan seterusnya. Jika sampai produksinya berkurang dan mempengaruhi iklim industri, terbayang berapa pegawai yang terancam di rumahkan.
Permasalahan sampah plastik memang sangat kompleks. Susah untuk membayangkan solusi tunggal untuk menyelesaikannya, namun kita semua sepakat penggunaan plastik harus dikurangi. Di lingkungan terdekat saya, sudah saling membiasakan untuk mengurangi penggunaan sampah plastik untuk kegiatan sehari-hari. Hal sederhana semacam membawa botol minum atau tas belanja sendiri adalah kebiasaan positif yang harus terus dilakukan.
Namun, pertanyaannya kemudian sejauh mana kebiasaan ini bisa sampai kepada masyarakat bawah? Mengganti kantong plastik menjadi tas kain atau kertas mungkin gampang dilakukan di swalayan, bagaimana dengan pasar tradisional? Data BPS tahun 2018, jumlah pasar tradisional sekitar 14.182 atau 88,52%dari total pasar yang ada di Indonesia. Jumlah sebanyak itu, terbayangkan jumlah kantong plastik yang digunakan.
Selama ini inovasi untuk menyediakan substitusi kantong plastik yang lebih ramah lingkungan bukannya tidak dilakukan, namun produksinya masih terbatas. Ditambah lagi bahan-bahan yang digunakan juga diekstrak dari alam, seperti singkong. Catatannya, ekstraksi yang berlebihan dari bahan-bahan alami ini juga akan bermasalah di kemudian hari. Perlu disusun pola produksi jangka panjang yang berkelanjutan agar tidak terjadi gangguan baru dari ekosistem alami.
Bagi saya, harusnya ini yang dibenahi dulu. Daripada langsung dilarang, harusnya substitusinya dulu dipastikan bisa diakses segampang plastik pada umumnya. Kita harus ingat yang sedang coba dilakukan di sini adalah mengubah kultur konsumsi masyarakat, tidak ada cara yang instan.
Daripada mengeluarkan aturan soal pelarangan kantong plastik, lebih baik mendorong munculnya industri ramah lingkungan dalam skala yang proporsional. Dengan begini, kantong plastik tetap tersedia, namun masyarakat juga diberikan alternatif pilihan yang sama terjangkaunya dengan plastik. Ditambah dengan nilai plus mengurangi sampah kantong plastik.
Pola produksi industri akan mengikuti permintaan dari pasar.  Jika makin sedikit permintaan dari pasar untuk pasokan kantong plastik, karena kantong plastik ramah lingkungan semakin terjangkau, maka industri akan menyesuaikan pola produksi. Daripada membuat aturan yang sifatnya impulsif dan artifisial, tugas pemerintah memastikan perubahan pola konsumsi masyarakat terkait kantong plastik diikuti perubahan produksi industri menjadi lebih ramah lingkungan.

*Dipublikasikan pertam kali di locita.co oleh Dias Pabyantara

0 comments