Wacana mengenai nasib dari (mantan) WNI yang bergabung dengan ISIS menyeruak kembali. Pasca Amerika Serikat menarik pasukannya dari Suriah, banyak pihak meyakini Amerika Serikat akan cuci tangan dari konflik di Suriah. Di tengah konflik tersebut terdapat sekitar 600 orang WNI yang telah memutuskan bergabung dengan ISIS, terkatung-katung nasibnya.
Salah satunya adalah Nada Fedulla, anak usia sekolah yang videonya viral di media sosial baru-baru ini. Nada yang diwawancara oleh BBC, berurai air mata menceritakan bagaimana dia dia sampai di Suriah karena dibawa oleh ayahnya. Nada mengaku tidak tahu menahu akan rencana sang ayah yang mengajak segenap keluarganya untuk bergabung dengan militan ISIS.
Respon terhadap video ini beragam. Di media sosial, banyak yang bersimpati, juga tidak sedikit yang mengutuki. Pejabat negara juga turut memberi komentar, termasuk Presiden Joko Widodo. Presiden menyampaikan pandangan personalnya untuk tidak memulangkan mantan militan ISIS ke Indonesia. Tapi keputusan akhirnya masih akan dibawa ke rapat terbatas, ujarnya. Menteri Agama dan Menkopolhukam pun berada di garis yang sama dengan Presiden. Keduanya menyatakan pemerintah tidak pernah mewacanakan untuk memulangkan mantan militan ISIS.
Namun, diakui atau tidak persoalan ini akan terus membayangi pemerintah Indonesia. Keberadaan warga negara Indonesia yang bergabung dengan ISIS bukanlah pesoalan yang bisa disimpan di bawah karpet. Suka atau tidak Indonesia harus bersikap. Dan sampai sekarang sinyal yang ditangkap publik, pemerintah cenderung menolak untuk memulangkan mantan militan ISIS.
Pilihan yang tersedia, baik itu memulangkan atau tidak mempunyai resikonya masing-masing. Jika diterima kembali di Indonesia, mereka berpotensi menjadi ancaman terhadap keamanan nasional dari segi radikalisme. Tidak ada jaminan yang pasti ideologi yang mereka anut sebagai eks militan ISIS tidak dipraktikkan di sini. Di sisi lain, pilihan untuk menolak memulangkan juga punya resikonya sendiri.
Posisi Indonesia sebagai anggota di Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah salah satunya. Indonesia terpilih menjadi anggota dewan HAM PBB untuk keempat kalinya pada periode 2020-2024. Posisi di Organisasi Internasional ini membawa konsekuensi bahwa Indonesia akan menjadi yang terdepan dalam menjaga keadilan berdasarkan hak asasi manusia di dunia.
Menlu Retno, pasca Indonesia terpilih menjadi Dewan HAM PBB, menyampaikan prioritas dari Indonesia di Dewan HAM PBB untuk konsisten mendorong pemajuan dan perlindungan HAM baik di kawasan, maupun tingkat global. Lebih jauh, ini adalah bentuk kepercayaan masyarakat internasional terhadap komitmen Indonesia dalam hal penegakan HAM. Imbasnya, Indonesia akan menjadi sorotan internasional dalam kebijakannya dalam merespon WNI yang bergabung dengan ISIS.
Persoalan ISIS juga memuat dimensi Hak Asasi Manusia. Komnas HAM adalah pihak yang konsisten menyuarakan hal ini. Terlepas anda setuju atau tidak, tapi ini tanda bahwa Komnas HAM Indonesia punya posisi yang jelas terhadap isu-isu berbasis HAM.
Mengutip pernyataan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), mayoritas dari 600 lebih WNI di sana adalah perempuan dan anak-anak. Perempuan dan anak-anak adalah kelompok paling rentan dalam setiap konflik sosial, tidak terkecuali terorisme.
Nada Fedulla, adalah contoh bagaimana perempuan dan anak menjadi kelompok rentan dalam kasus ini. Nada dan ibunya mengaku tak tahu jika sang ayah mengajaknya untuk bergabung menjadi militan ISIS. Ketika sampai di sana dia menyaksikan hal-hal mengerikan. Sedangkan ayahnya berada di penjara tentara Kurdi.
Ada juga Windy Alwi, remaja berusia 17 tahun yang dibawa ayahnya untuk bergabung dengan ISIS. Mereka bergabung tahun 2016, saat usia Windy masih 13 tahun. Ayahnya mengatakan bahwa ini adalah negar Islam. Yang terbayang dipikiran Windy saat itu adalah jalan-jalan. Ternyata apa yang dihadapi di sana berbeda dengan bayangannya. Windy dan ibunya berada di pengungsian pasca ayahnya dijebloskan ke penjara oleh pasukan SDF.
Contoh kasus Nada dan Windy adalah sebagian kecil dari contoh perenggutan hak asasi manusia oleh ketimpangan dalam relasi gender di keluarga. Saya membayangkan, relasi keluarga mereka menempatkan sosok ayah sebagai pengambil keputusan tunggal tanpa kontrol dan masukan dari istri dan anak. Relasi patriarkis ini lazim ditemui di keluarga yang tumbuh dengan ajaran radikal.
Dalam relasi keluarga dan radikalisme tersebut, perempuan dan anak-anak adalah korban yang dicerabut hak asasinya. Jika hal ini diabaikan oleh pemerintah tentu kontra produktif dengan posisi Indonesia sebagai anggota dewan HAM PBB. Belum habis pemerintah diprotes mengenai penegakan HAM di Papua oleh dunia internasional, di depan mata sekarang muncul persoalan yang menguji kepekaan pemerintah terhadap isu HAM.
Selain itu, arah dari polemik ISIS di Timur Tengah makin rumit semenjak Amerika Serikat menarik pasukannya dari Suriah. Selama ini kebanyakan operasional perang, kamp pengungsian sampai penjara untuk kombatan mengandalkan bantuan dari Amerika Serikat. Tidak ada jaminan jika AS akan terus mendanai operasional perang terhadap ISIS di Suriah. Hal ini ditambah AS sedang berada dalam moda persaingan sengit dengan Tiongkok dalam bidang ekonomi.
Jika sampai terjadi penghentian operasional dari penjara dan kamp pengungsian di Suriah, dapat dipastikan akan terjadi kekacauan yang lebih besar di wilyah tersebut. Setidaknya 10.000 mantan anggota ISIS yang ditahan di penjara Suriah. Jika terjadi penghentian operasional penjara, dan kemungkinan akan terjadi, yang akan terjadi adalah negara-negara di sekitar Suriah akan mendesak negara asal kombatan untuk memulangkan warga negaranya.
Turki telah melakukan hal ini. November 2019, pasca AS menarik pasukan dari Suriah, Turki memulangkan paksa sebanyak 1200 anggota ISIS yang berasal dari Eropa dan AS. Banyak negara Eropa menolak menerima, namun Turki tetap mengirim mereka kembali. Karena prinsipnya, orang yang tidak punya kewarganegaraan akan membuat masalah di wilayah negara lain. Sebelum itu terjadi, pemerintah Turki mengirim mereka kembali.
Sebelum mengambil tindakan untuk menolak atau menerima eks ISIS ini, pemerintah Indonesia memerlukan kalkulasi matang. Kedua pilihan tersebut mengandung resiko masing-masing. Pilihan menerima mereka kembali akan menimbulkan ancaman serius terhadap keamanan nasional Indonesia. Hal ini ditambah dengan keraguan banyak pihak terhadap keberhasilan program deradikalisasi dari BNPT untuk menangkal ideologi radikal.
Namun, pilihan menolak mereka juga berpotensi memperburuk citra Indonesia di mata internasional. Di tengah sentimen buruk di dalam dan di luar negeri mengenai jejak Indonesia terhadap penangan isu HAM, kesempatan ini dapat digunakan untuk menegaskan posisi Indonesia dalam penanganan konflik berbasis HAM. Simalakama yang dihadapi pemerintah menuntut respon terukur dan segera.
Harapan kita semua, semoga apapun pilihan yang diambil pemerintah Indonesia nantinya akan menjembatani kebutuhan keamanan nasional dan tidak abai terhadap citra internasional.
*Dipublikasikan pertama kali di locita.co oleh Dias Pabyantara
0 comments