ALOTNYA perdebatan mengenai pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) terasa sekali di akar rumput belakangan ini. Saling lempar argumentasi sampai petisi menjadi hiasan lini masa maupun diksusi-diskusi publik mengenai RUU PKS akhir-akhir ini.
Sepertinya sudah menjadi tradisi demokrasi di dunia maya bahwa setiap isu akan menghaslikan dua kubu, pro dan kontra. Pada bahasan mengenai RUU PKS pun demikian.
Wacana yang saling berbenturan kira-kira soal potensi RUU PKS mengarah kepada kebebasan seksual yang dikhawatirkan oleh pendukungnya akan mengarah pada maraknya seks bebas dan mungkin LGBT. Di sisi lainnya ada kelompok yang menyatakan darurat penanganan kekerasan seksual yang mayoritas dialami oleh perempuan.
Saya pribadi punya catatan terhadap keduanya. Saya mulai dari yang kedua. RUU PKS ini bagi saya penting untuk segera disahkan, tapi perlu melibatkan variabel laki-laki sebagai korban dalam setiap diskusinya.
Pengamatan kasar saya, kesan yang muncul adalah ini kepentingan pihak perempuan saja, yang laki-laki merasa tidak terlibat baik secara kepentingan maupun emosional. Fakta-fakta yang perlu disampaikan secara lugas adalah bahwa laki-laki juga bisa jadi korban kekerasan seksual, bukan hanya perempuan.
Bukti kasarnya, ketik saja “predator anak” di laman pencarian Google, yang keluar adalah jejak digital mengenai bagaimana korban-korban pelecehan seksual yang mayoritas laki-laki.
Ini yang mungkin tidak disadari oleh publik, khususnya laki-laki. Bahwa pengesahan RUU PKS akan menjamin hak laki-laki untuk terhindar dari kekerasan seksual.
Catatan dari KPAI, tahun 2018 anak laki-laki lebih rentan menjadi korban kekerasan seksual dibanding anak perempuan. Dari 177 kasus yang tercatat (ingat, yang tercatat ya, bukan tidak mungkin jumlah riil nya lebih besar) 135 orang adalah laki-laki dan 42 orang perempuan. Jumlahnya 1,5 kali lebih besar laki-laki dari pada perempuan, edyyyaaaan.
Contoh lain, tempat fitness seringkali mendapat stigma buruk kaitannya dengan pelecehan seksual terhadap laki-laki. Masih ingat kasus IKS? Dosen di salah satu kampus di Surabaya yang berurusan dengan hukum karena memaksa JS, laki-laki berusia 16 tahun, untuk melakukan oral seks?
Baru tahun 2017 lho kejadiannya. Silakan tengok jejak digitalnya, masih banyak betebaran di dunia maya. Kasus lain, di Aceh Utara seorang wanita berusia 32 tahun melakukan pelecehan seksual terhadap 5 anak di bawah umur, 3 laki-laki dan 2 perempuan pada Desember 2018 lalu.
Jika daftar ini dilanjutkan akan jadi panjang sekali. Masih ingat juga kasus pedangdut laki-laki yang “hap-hap” itu? Dan seterusnya lah ya hehe.
Intinya, kepada saudara-saudaraku satu tipologi tubuh, penting untuk disadari bahwa siapapun bisa jadi korban kekerasan seksual, tidak melulu perempuan. Sampeyan-sampeyan waktu ngegym biar keliatan berotot dan keliatan ganteng bisa jadi korban pelecehan seksual juga. Gak enak toh?
Sekarang gantian ke saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang mengkhawatirkan terjadinya gerakan seks bebas masal, tidak usah khawatir akan terjadi demikian. Lha wong sudah kejadian hehe.
Gini gini, bukankah seks itu seharusnya memang bebas? Wong yang punya kuasa terhadap penggunaan organ seksual yang orangnya sendiri. Yang menghalangi praktik seks itu harusnya kan pikiran yang punya organ seksual toh? Mau diatur kayak apa, mau dihukum kayak apa kalau emang niat ya kejadian kan? Hehe.
RUU PKS itu bapak ibu dan semua yang ada di sini, tujuannya menurut saya cuma satu: mengkondisikan individu bertanggung jawab terhadap tubuh mereka sendiri. Saya kira enggak ada masalah dengan ini.
Bagus toh?
Saya kira disetiap kebudayaan, adat istiadat dan ideologi manapun pasti membahas soal individu yang berdaulat. RUU PKS itu pencegahan terhadap membludaknya praktik-praktik berikut: pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi dan pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, pembudakan seksual dan penyiksaan seksual.
Bayangkan kalau sampeyan atau keluarga yang jadi korban, efek traumatiknya bisa seumur hidup.
Lagian bukankah pencegahan “seks bebas” itu lebih tepat dilakukan secara sosiologis dan edukatif. Sifatnya penanaman norma dan pemahaman yang mendasar mengenai kondisi fisik dan relasi seksual yang sehat.
Diajarin dilevel keluarga bagaimana perilaku seksual itu seharusnya. Bagaimana menggunakan organ seksual yang bertanggung jawab. Di level sekolah bab pendidikan reproduksi harusnya membahas reproduksi manusia bukan reproduksi katak yang bertelur aja lewat kulit punggung.
Harusnya prosesnya demikian. Pengesahan RUU PKS penting untuk awalan langkah kuratif terhadap praktik kekerasan seksual sedangkan proses pendidikan seksual yang sehat dan bertanggung jawab juga harus segera dipraktikkan.
Ini penting agar tidak muncul sentimen kelompok masyarakat teretentu yang mengganggap persoalan relasi gender hanya masalah perempuan saja, atau bahkan agenda liberal yang ingin menggulingkan peradaban manusia Indonesia.
*Dipublikasikan pertama kali di locita.co oleh Dias Pabyantara
0 comments