Beberapa waktu yang lalu salah seorang mahasiswa saya membuka presentasinya mengenai identitas Indonesia sebagai negara maritim. “Indonesia adalah negara maritim”, jelasnya di awal presentasi.
“Indonesia adalah negara yang wilayah lautnya lebih besar daripada wilayah daratnya sehingga potensi laut kita melimpah. Ini artinya negara Indonesia mempunyai identitas negara maritim,”pungkasnya. Pernyataan terakhir ini memancing diskusi yang panjang.
Kawan lainnya beranggapan Indonesia adalah negara agraris karena pertanian adalah tulang punggung negara,” sanggahnya. Dia melanjutkan bahwa kita mayoritas mengganggap nasi sebagai makanan pokok, pakai lauk ayam bukan ikan, selorohnya.
Pernyataan tadi mengundang tawa dari kawan sekelas, termasuk saya yang menganggap pernyataan tadi jenaka. Namun setelah perkuliahan jalannya diskusi tadi mengganggu pikiran saya. Jadi kita ini negara agraris atau negara maritim?
Praktik sosial yang terjadi dari awal Indonesia merdeka, mungkin mundur sampai jaman kolonial, pertanian adalah pekerjaan mayoritas bangsa Indonesia. Sampai sekarang pun tetap demikian. Generasi saya dan generasi sebelumnya mengenal Indonesia sebagai negara agraris. Begitu penjelasan bapak dan ibu guru mata pelajaran IPS jaman sekolah dasar dulu.
Wacana mengenai Indonesia sebagai negara maritim baru menjadi diskusi publik ketika tahun 2014 Presiden Joko Widodo mencetuskan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Visi ini kemudian ditindak lanjuti dengan pembangunan infrastruktur dan penyesuaian kebijakan dalam rangka mewujudkan poros maritim. Namun hampir 5 tahun semenjak dicetuskan visi ini seakan masih menjadi barang yang asing di masyarakat.
Negara maritim mungkin bagi sebagian besar penduduk Indonesia adalah gagasan yang asing. Sederhana saja, kita di level akar rumput tidak pernah diingatkan dalam praktik sehari-hari bahwa kita punya potensi kemaritiman yang luar biasa. Bu Susi mungkin yang gemar menyerukan untuk makan ikan atau ditenggelamkan di twitter selebihnya saya kira tidak. Bahkan di level debat capres yang seharusnya jadi panggung debat gagasan besar mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara tidak ada usaha itu.
Padahal jika dirunut sejarahnya, peninggalan sejarah Nusantara mengungkapkan berbagai fakta yang menegaskan bahwa wilayah yang kita tinggali sekarang pernah mengalami kejayaan maritim, sehingga bukan hal yang mustahil untuk kembali mendapatkan predikat negara maritim. Persoalan yang dihadapi adalah kesulitan untuk menemukan kembali momentum dan memori kolektif bangsa mengenai identitasnya sebagai negara maritim. Indonesia sebagai bangsa tidak pernah lagi diingatkan mengenai identitasnya sebagai bangsa maritim.
Tidak ada reproduksi identitas yang sampai menyentuh masyarakat akar rumput untuk membangkitkan kesadaran mengenai identitas bangsa sebagai bangsa maritim melalui pembentukan budaya sehari-hari. Kebanyakan diskusi dan pembahasan mengenai Indonesia sebagai negara maritim berada pada level elit yakni pengambil kebijakan.
Konsekuensinya Indonesia tidak sedang membicarakan maritim sebagai identitas bangsa namun berhenti pada formulasi kebijakan politik yang tidak secara langsung menyentuh memori kolektif bangsa. Dari sini penting untuk membedakan apakah yang sedang dibicarakan adalah Indonesia sebagai bangsa atau Indonesia sebagai negara yang sedang diperebutkan posisi puncaknya.
Kunci dari pembentukan memori kolektif adalah praktik sosial sehari-hari. Saya berharap membumikan identitas bangsa maritim ke dalam praktik budaya keseharian menjadi perhatian pengambil kebijakan ke depannya.
Hal-hal sederhana seperti memperbanyak lagu-lagu anak yang bernuansa maritim misalnya. Mungkin terlihat sederhana, tapi begitulah cara ideologi bekerja.
Sekarang jika ditanya lagu apa yang diingat ketika membincang laut, pasti jawabnya hanya Nenek Moyangku Seorang Pelaut. Seingat saya lagu ini yang diajarkan di sekolah-sekolah dasar hingga membentuk memori mengenai kelautan. Selain itu mungkin ada, tapi tidak populer seperti lagu ciptaan Ibu Sud itu.
Contoh lain, secara cepat jika diminta menggambar pemandangan, mayoritas dari kita hampir pasti menggambar dua buah gunung dengan jalan raya kemudian di atasnya ada matahari dan sawah sepanjang jalan. Mayoritas demikian. Itu menunjukan secara kolektif memori kolektif kita soal pemandangan adalah pegunungan bukan laut.
Ini berlangsung ratusan tahun sejak jaman kolonial. Jaman penjajahan Belanda, yang paling diingat dan direproduksi oleh bacaan sejarah adalah tanam paksa. Padahal di masa yang sama teknologi maritim Hindia Belanda sudah mampu memetakan laut bagian Timur Indonesia dan mendata 800 jenis plankton. Tapi reproduksi sejarah di usia dini berhenti di tanam paksa. Jaman Orde Baru yang direproduksi sebagai memori kolektif bangsa adalah Indonesia Bangsa Agraris, bukan Maritim.
Dengan jeda yang demikian panjang antara memori kolektif bangsa sebagai bangsa maritim saya menunggu gebrakan dari pemimpin terpilih secara de jure, bukan de facto, untuk membumikan identitas maritim sampai ke akar rumput.
Misalnya dengan mencanangkan reproduksi masal lagu-lagu anak bertema maritim. Pengerjaannya diserahkan ke musisi yang telah disertifikasi negara utnuk menjaga kualitas konten dan mencegah plagiarisme.
Atau pejabat publik yang punya musikalitas tinggi, walaupun belum tersertifikasi. Toh, memori kolektif kita sebagai bangsa pernah mencatat bahwa ada presiden yang saking tinggi musikalitasnya bisa bikin 5 album saat menjabat. Sayangnya, tidak ada yang khusus bertema maritim.
*Dipublikasikan pertama kali di locita.co oleh Dias Pabyantara
0 comments