Salah Paham Gelar Sarjana


Diskusi mengenai kebijakan Mas Mendikbud yang berjudul Kampus Merdeka, Nadiem Makarim, nampaknya belum akan surut dari ruang publik. Di media sosial, saut menyaut komentar mengenai kebijakan ini oleh masyarakat mengerucut pada dua kubu, narasi mengenai inovasi versus narasi pro pasar.
Kubu pertama adalah pendukung kebijakan Kampus Merdeka. Alasannya adalah ini momentum kampus berbenah. Menciptakan ekosistem yang memungkinkan mahasiswanya untuk bisa segera terserap oleh dunia kerja, baik korporasi maupun wirausaha. Di kubu lainnya, kritik terhadap kebijakan Mas Menteri lebih banyak berada di sekitar narasi arah kebijakan yang pro pasar dengan menyediakan tenaga kerja murah yang dibalut dalam program magang. Hasilnya, seperti biasa debat kusir.
Kedua narasi tersebut bukanlah hal baru. Bagi yang setiap hari berkutat di kampus, wacana mengenai ekosistem kampus yang dirasa sudah tidak kompatibel dengan perkembangan jaman adalah makanan sehari-hari. Akademisi dituduh tinggal di menara gading, karena tidak mau/mampu menyelesaikan persoalan riil di masyarakat. Tuntutan untuk reformasi model pendidikan di kampus pun tidak pernah surut.
Sarjana-sarjana sering dilabeli sebagai lulusan yang tidak punya skill yang terpakai di dunia kerja. Lulusan kampus banyak yang mengaggur katanya. Alasannya ditengarai karena kampus kurang adaptif dalam mencetak lulusan sarjana, sehingga pembelajaran di kampus tidak terpakai di dunia kerja.
Pertanyaannya kemudian, apakah memang harus terpakai? Apa motivasi para calon sarjana ini ketika memutuskan masuk ke perguruan tinggi? Pernahkah pembahasan di publik kita sampai ke sana? Sampai pada pertanyaan mendasar, buat apa sih dapat gelar sarjana?
Untuk dapat memproses kebijakan Mas Menteri itu pertanyaan mendasar ini harus bisa dijawab terlebih dahulu. Dugaan saya, mayoritas calon sarjana tidak paham mengapa dia perlu kuliah. Yang dia bayangkan hanya kuliah, lulus kemudian kerja, menjadi sekrup-sekrup kapitalisme candanya.
Tujuan itu sebenarnya salah alamat. Budaya yang subur di masyarakat kita, pendidikan tinggi adalah satu pencapaian bukan kebutuhan. Cara pandang ini yang penting untuk diluruskan bersama-sama. Sistem pendidikan sebenarnya sudah menyediakan jalur khusus untuk yang berniat cepat bekerja, namanya jalur vokasi.
Jalur vokasi ini yang kita kenal dengan jenjang D1 sampai D4. Jurusannya lebih spesifik ke profesi tertentu, misalkan Pengobatan Tradisional, Perpajakan, Perhotelah dll. Bahkan di level Sekolah Menengah, ada Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang kurikulumnya didesain untuk menyiapkan lulusan sebagai tenaga kerja terampil. Di SMK, bagi yang belum mahfum, penjurusannya tidak besifat umum seperti IPA dan IPS layaknya di SMA, melainkan otomotif, tata boga, akuntansi dan lain-lain.
Tujuan dari jenjang ini adalah menghasilkan tenaga kerja terampil, yang siap kerja. Desain kurikulumnya pun disesuaikan dengan kebutuhan dunia kerja. Relasi dan kerjasama program studi juga diarahkan untuk menyediakan tempat praktik kerja. Ini baru pas. Kalau mau cepat kerja, ya ke vokasi aja. Ekosistemnya memang dibangun untuk berkolaborasi dengan industri menciptakan tenaga kerja terampil.
Sayangnya program studi vokasi tidak sepopuler saudaranya di jenjang sarjana. Amatan kasar saya, sekali lagi karena budaya yang berkembang masyarakat kita mendiskriminasi jurusan vokasi. Dari level Sekolah menengah, citra dari anak SMK dan STM adalah…yak betul tawuran. Enggak ada terpelajar-terpelajarnya blas. Dampaknya sampai perguruan tinggi pun stigma ini masih ada, pendidikan vokasi jadi pilihan kesekian disamping sarjana.
Akhirnya, pemuda pemudi harapan bangsa berjubel masuk ke jenjang S1 untuk memperoleh gelar sarjana. Nah, di sini persoalan di mulai. Mentalitas yang dibawa dan paling umum ditemui dalam pandangan calon sarjana adalah kuliah S1 untuk lulus dan segera bekerja. Ya enggak nyambung. Jaka Sembung bawa golok. Gak nyambung….kok. hehe.
Ibaratnya kita beli gitar tapi belinya ke toko buku gede yang depannya G itu. Pilihannya terbatas, mau nyoba genjrang-genjreng takut ganggu orang yang baca buku,dan yang jaga pun belum tentu paham detail mengenai gitar. Wong dia kerja di toko buku.
Sama dengan anda ingin cepat kerja tapi masuknya ke jenjang sarjana. Ekosistem di level sarjana tidak didesain untuk membuat anda cepat kerja. Itu domain vokasi, SMK, STM, D1 sampai D4. Di level sarjana yang diajarkan adalah teori-teori yang macem-macem. Karena desainnya adalah untuk mendidik calon-calon pemikir yang siap mengisi posisi manajerial. Manajerial maksudnya pekerja yang fokus kerjanya analisis, bukan pekerja terampil yang menguasai satu skill spesifik.
Permasalahan ini kemudian ditangkap oleh pemberi kerja. Supply tenaga kerja berlimpah di kampus diserap dengan mekanisme yang seringkali tidak menguntungkan pekerja. Upah murah dan jaminan sosial yang minim menjadi realitas sehari-hari yang dihadapi oleh kawan-kawan lulusan baru. Alasan pemberi kerja, kawan-kawan ini belum mempunyai pengalaman kerja yang relevan dengan bidang kerjanya sekarang. Bagaimana mau dapat pengalaman kerja, kalau ekosistem kampus tidak memfasilitasi praktik kerja, kata pekerja-pekerja baru ini.
Kemudian lingkaran setan berputar kembali. Kampus, khususnya jenjang sarjana, tetap jadi kambing hitam atas kebobrokan relasi dunia pendidikan dan dunia kerja. Hal ini tentu tidak sepenuhnya salah. Banyak aspek dari penyelenggaraan pendidikan di jenjang sarjana yang perlu disinkronisasi dengan stakeholder yang lain. Tentu tujuannya untuk pengembangan keilmuan dan pengasah skill manajerial yang kompeten.
Namun, desain awal dan kondisi ideal di atas agaknya akan terus mendapat tantangan serius dari berbagai pihak. Di tengah pandangan pengambil kebijakan yang sangat pro investasi, pendidikan adalah bentuk nyata dari industri penyedia tenaga kerja. Oleh karena itu hal yang lebih kita perlukan adalah kampus yang merdeka dari stigma sosial dan relasi buruk antara negara dan pasar.

*Dipublikasikan pertama kali di locita.co oleh Dias Pabyantara

0 comments