Peninggalan Majapahit, Desain Kompleks Perumahan Modern, dan Susahnya Kita Bangun Sahur
Mungkin, salah satu mimpi buruk orang yang akan berpuasa di Bulan Ramadan adalah terlewat waktu sahur.
Beberapa hari lalu saya mengalaminya, jadi tulisan ini boleh dibilang ditulis berdasarkan kejadian nyata.
Latar belakang ceritanya begini. Sudah dua tahun ini saya tinggal sebuah perumahan yang menerapkan sistem satu pintu di salah satu sudut kota Surabaya.
Akses keluar masuk ke perumahan yang saya tinggali harus melalui jalan masuk yang sama, dilengkapi portal dan pos satpam beserta satpamnya selama dua puluh empat jam non stop. Kamera CCTV yang siap merekam lalu lintas orang dan barang juga ada dipojokan.
Pokoknya dari sisi keamanan maknyus laah. Enggak ada yang bisa lolos dari pengamatan bapak-bapak satpam yang siap sedia di depan kompleks perumahan.
Hubungannya apa dengan saya hampir kelewat sahur? Dalam klasifikasi ilmiah, saya masuk apda kategori Homo MalamTadarusSiangTidurTerus.
Semacam spesies yang mampu begadang malam hari namun mustahil bangun untuk sahur, sehingga hibernasi waktu siang hari. Mempunyai predikat demikian, malam itu menjadi malam nahas bagi saya.
Di tengah tumpukan kerjaan yang mepet dikerjakan mendesak saya terpaksa begadang sampai dua jam sebelum imsak. Di tengah kesibukan dapur rumah lain yang menyiapkan sahur, saya lebih memilih menjalin kemesraan dengan kasur sebelum diperintahkan untuk menahan nafsu pasca subuh.
Harapan saya sekarang hanya bertumpu pada kerasnya suara alarm di telepon seluler. Berharap kerasnya suara alarm mampu menembus alam mimpi yang sedang berkelana kesana kemari membuat skenario sendiri. Sayangnya, itu tidak terjadi. Saya terbangun tepat setengah jam setelah adzan subuh berkumandang. Melewatkan makan sahur yang menjadi kewajiban.
Di titik ini saya sadar, ada satu hal yang hilang dalam Ramadan saya. Yak tul, sama sekali tidak ada suara berisik patrol untuk membangunkan sahur yang saya dengar sepanjang saya tinggal di sini. Tidak ada sama sekali.
Di Surabaya, anak-anak yang berkeliling kompleks perkampungan menabuh berbagai instrumen perkusi adalah hal yang lumrah dan jamak dilakukan. Waktu saya kuliah dan tinggal di kos-kosan dahulu patrol sahur adalah alarm sosial yang ampuh untuk membangunkan makhluk-makhluk nokturnal bernama anak kosan macam saya. Tapi di kompleks perumahan ini alarm sosial itu hilang.
Dugaan saya penjelasannya ada di konsep dan desain perumahan yang sifatnya satu pintu. Desain perumahan yang demikian sama persis dengan desain perumahan jaman kerajaan.
Pusat ruang publik, perumahan dan pemerintahan berada di satu area dengan tembok tinggi yang mengelilingi sekitarnya. Jalan masuknya biasanya terpusat, entah dibuat satu atau dua akses. Di setiap jalan keluar masuk selalu ada punggawa yang tugasnya menjaga akses jalan dari pembuat onar yang diasumsikan akan datang dari luar area kerajaan.
Di dalam area tembok, aturan mainnya jelas. Semua pembuat onar akan ditindak oleh punggawa atau pengawal istana. Tugas pengawal istana yang berjaga di pintu masuk adalah memastikan tatanan nilai dan norma serta praktik sosial yang ditetapkan penguasa tidak dilanggar.
Tengok bagaimana penjelasan situs peninggalan Majapahit di Trowulan. Di sana dikisahkan dalam kitab Negarakertagama bahwa keraton Majapahit dikelilingi tembok batamerah yang tebal dengan pos penjaga di dekatnya.
Peninggalan candi yang ada di situs Trowulan juga memuat cerita yang sama. Gambaran pemukiman dalam Negarakertagama yang disebut kuwu, digambarkan sebagai pemukiman yang dikelilingi tembok dan mempunyai gapura bernama Candi Wringin Lawang.
Konon kabarnya Candi Wringin Lawang adalah pintu masuk ke pemukiman tempat tinggal Patih Gajah Mada yang masyur dengan Sumpah Palapa mempersatukan Nusantara.
Gambaran itu persis dengan apa yang terjadi di kompleks perumahan yang menerapkan konsep keamanan satu pintu. Perumahan model begini biasanya dikelilingi oleh tembok tinggi yang memisahkan antara batas kekuasaan bangsawan yang ada di dalam tembok dengan apa yang terjadi di luar tembok.
Di dalam tembok adalah tanggung jawab punggawa kerajaan, dalam perumahan modern disebut dengan satpam untuk memastikan keteraturan (order) tercipta dengan baik. Di luar itu punggawa kerajaan tidak punya lagi kuasa untuk mengatur, dalam risalah kuno kerajaan di Indonesia biasanya wilayah di luar tembok kerajaan dikuasai oleh centeng-centeng atau preman-preman jika menggunakan terminologi jaman sekarang.
Dengan kata lain, model keamanan satu pintu yang diklaim sebagai ciri perumahan modern sudah ada sejak jaman Majapahit. Sama persis, hanya beda teknologi saja. Warisan sejarah.
Hubungannya dengan patrol apa dong? Patrol membangunkan sahur adalah bentuk ketidakteraturan (disorder). Norma yang berlaku saat malam adalah ketenangan. Cara yang dilakukan oleh patrol sahur adalah dengan melakukan anarkisme, mendobrak keteraturan dengan berisik pada dini hari ketika orang-orang mayoritas terlelap.
Cara-cara ini dianggap tidak sesuai dengan norma keteraturan yang dianut di perumahan modern, sehingga tidak pernah ada aksi patrol sahur di perumahan-perumahan modern. Cara patrol sahur terkesan kurang beradab dalam membangunkan masyarakat priyayi di kompleks perumahan sebagai bagian dari terorial kerajaan. Cara yang dianggap relevan dan pantas adalah yang tidak gaduh dan tidak membuat “kekacauan” secara masal. Khas cara berpikir penguasa kerajaan.
Setelah menulis ini saya setidaknya bisa menjelaskan dengan bangga bahwa saya tidak sahur karena saya menjadi korban warisan struktur sosial jaman kerajaan yang menekankan pada konsep keteraturan dalam sudut pandang bangsawan kerajaan yang termanifestasi dalam konsep pemukiman modern yang menghalangi relasi sosial kelas bawah berkecambah dalam kerangka anarkisme sosial berbentuk absennya prakik patrol sahur di perumahan.
Gimana? Bingungkan? Sama!
*Dipublikasikan pertama kali di locita.co oleh Dias Pabyantara
0 comments